Awalnya karena Gagal Jadi Kiper
TANDA-tanda sukses mulai nampak pada Triyono, striker klub yang baru saja lolos ke putaran kedua Kompetisi Liga Bogasari Piala Suratin, Apacinti Ungaran. Bagaimana tidak? Pemain yang memiliki power bagus ini sudah menyumbang lima gol ketika Apacinti menjadi tuan rumah babak penyisihan Grup VI di Purwokerto.
Triyono, siswa kelas III SMU Pabelan, Kota Salatiga ini diperkirakan bakal meraih sukses ulang seperti yang pernah dia capai tahun sebelumnya. Yakni pada kompetisi Antar-LPSB Piala Extra Joss di Bandung. Kala itu, Apacinti berhasil meraih posisi runner up dan dirinya dinobatkan sebagai top scorer, setelah mencetak 17 gol. Di final, timnya kalah tipis 1-2 oleh tim tuan rumah, LPSB Pakuan Bandung.
Pada putaran kedua babak 32 Besar, Triyono dkk mulai hari ini akan bermain di Stadion Tridadi Sleman. Dia dimungkinkan bisa tampil lebih. Alasannya, saat tampil di Purwokerto tidak bisa optimal. Tandemnya di lini depan, Novendi, tidak pernah tampil akibat terserang sakit panas. Pendamping Triyono ini setelah diperiksakan terkena gejala tifus. Sementara, Musa Al Ichsan sebagai pengganti Novendi, kurang bisa mengimbangi.
Puncak kepiawaian pemain belia ini diperlihatkan pada pertandingan penentuan melawan Persikabumi. Dia mencetak empat dari lima gol saat timnya membantai tim itu 5-0.
Faktor Alam
''Jika tim kami lolos ke putaran berikutnya, bukan tidak mungkin Triyono meraih sukses ulang. Novendi sudah siap sehingga bisa kami pasangkan kembali dengan dia. Dua pemain ini sudah padu sejak di Piala Extra Joss,'' tutur pelatih Apacinti, Drs Musarodin.
Dalam usia muda, 18 tahun, otot-otot kaki dan tangan Triyono sudah kelihatan terbentuk. Lahir di Desa Bergas Kidul (dulu Desa Klepu), Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang, Triyono dibesarkan di desa yang sepi. Ketika itu, kampung kelahirannya masih tergolong terpencil, topografinya terjal naik turun, penuh dengan tebing. Jalan menuju rumahnya naik turun.
Mungkin saja, kondisi alam yang demikian membuat otot-otot yang dia miliki kelihatan menonjol. Bahkan bila dibandingkan dengan para pemain lain.
Saat masih bergabung dengan LPSB Serasi Ungaran, dia pulang balik harus jalan kaki sekitar 10 km, dari Desa Lemah Abang (tempat pemberhetian kendaraan umum) ke Desa Bergas Kidul. Kondisi alam yang demikian, secara tidak disadari, justru membentuk otot-ototnya.
''Otot-ototnya sudah terbentuk. Itu mungkin berkat kondisi alam di desanya,'' tambah Musarodin.
Menurut sang pelatih, Triyono memiliki dasar fighting spirit dan ball feeling sejajar dengan Bambang Pamungkas atau Johan Prasetyo pada usia yang sama. Bambang dan Johan juga alumnus Apacinti.
Musarodin bisa bicara seperti itu karena sejak kecil Bambang dan Johan berada dalam asuhannya. ''Makanya, Triyono minta kostum nomor 20. Itu seperti nomor punggung yang dikenakan Bambang Pamungkas. Sejak kecil dia selalu mengidolakan Bambang.''
Pemain ini belajar sepakbola sejak kelas V SD di LPSB Serasi yang ditangani Musarodin. Tapi, tahun 2000 lalu LPSB Serasi bubar, dan semua pemain diboyong oleh Musarodin ke Diklat Apacinti.
''Dulunya dia memilih posisi kiper. Tapi setelah merasa kalah bersaing melawan Catur (kiper utama Apacinti- Red) dia minta pindah ke posisi striker sampai sekarang.'' Pilihan Triyono ternyata tepat. Buktinya nama dia langsung melejit. Tapi, bagaimana komentar Triyono?
''Saya belum apa-apa, masih harus banyak belajar. Kalau tidak dilepas oleh Mas Didin (Musarodin-red) saya tidak akan ke luar dari Apacinti,'' janji pemain bertinggi 170 cm ini.
Hanya sayangnya, bakat yang dimiliki pemain ini ternyata lepas dari pengamatan Tim Pemandu Bakat PSSI. (Mundaru Karya-77)
Sumber : Suara Merdeka Minggu, 22 September 2002